Menggali Potensi Terpendam Lapangan Offshore

2021-06-22

Pada tahun 2030, pemerintah telah menetapkan target produksi minyak sebesar 1 juta barel minyak per hari (BOPD) dan gas hingga 12 miliar standar kaki kubik per hari (BSCFD). Target tersebut cukup menantang, karena saat ini menurut data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas, 2020) total produksi minyak baru mencapai 706 ribu barel minyak per hari bph dan produksi gas baru sebesar 5.5 miliar standar kaki kubik per hari (BSCFD).

Hal ini tidak terlepas karena kondisi saat ini produksi lapangan migas onshore masih menjadi andalan bagi sektor migas nasional. Sebagai contoh Lapangan Banyu Urip di Blok Cepu, Jawa Timur, yang produksi minyaknya mencapai 210 mbopd pada 2020 atau setara dengan 30% produksi minyak nasional, yang menurut data SKK Migas diprediksi akan terus mengalami penurunan produksi dari 2021-2035.

Di saat bersamaan, pelaku industri hulu migas juga harus “memutar otak” bagaimana mempertahankan agar sumur tetap memberikan keekonomian yang baik di tengah kondisi penurunan cadangan dan harga minyak dan gas yang belum kembali ke tingkat ideal. Untuk mencapai target produksi minyak dan gas pada tahun 2030, Indonesia tidak dapat lagi hanya mengandalkan produksi dari sumur eksisting dan kegiatan di onshore (darat) yang terus mengalami penurunan alamiah (natural decline) dalam beberapa dekade terakhir. 

Indonesia masih memiliki potensi terpendam hulu migas terutama lapangan offshore (lepas pantai). Berdasarkan Peta Cekungan Sedimen Indonesia Kementerian ESDM (2009) dari total 128 cekungan, masih terdapat 58% atau 74 cekungan sedimen yang belum dieksplorasi dan sebagian besar berada di kawasan timur Indonesia.

Optimisme tersebut juga tidak terlepas dari besarnya potensi cadangan minyak bumi nasional sebesar 4,17 miliar barel dengan cadangan terbukti (proven) sebanyak 2,44 miliar barel. Sementara data cadangan yang belum terbukti sebesar 2,44 miliar barel.

Sedangkan untuk cadangan gas bumi mencapai 62,4 triliun kaki kubik (cubic feet) dengan cadangan terbukti 43,6 triliun kaki kubik (cubic feet).

Tantangan Hulu Migas

Sektor hulu migas Indonesia mengalami tantangan yang cukup berat karena tekanan harga minyak yang rendah ditambah lagi dengan minimnya aktivitas eksplorasi untuk menemukan cadangan baru.

Infographic 02

Sumber: IPA Infographic Booklet, 2020

Selain itu, kegiatan eksplorasi di lapangan offshore membutuhkan investasi yang sangat besar dan berisiko tinggi. Sebagai gambaran umum, biaya pengeboran sumur di onshore berkisar antara US$2 juta-US$6 juta, sementara di sumur offshore bisa mencapai US$4 juta-US$15 juta.

Pandemi COVID-19 yang menyebabkan harga minyak anjlok menambah berat beban yang harus ditanggung seluruh pelaku industri, termasuk hulu migas. Belum lagi proyeksi dari Indonesia Petroleum Association(IPA) dalam Infographic Booklet 2020 yang mengestimasi investasi migas global akan turun tajam hingga US$500 miliar selama periode 2020-2025.

Masih menurut laporan IPA, estimasi investasi migas di kawasan Asia Pasifik diperkirakan turun sebesar US$64 miliar. Porsi investasi yang akan masuk ke kawasan Asia Tenggara dan Indonesia diperkirakan akan semakin turun dalam beberapa tahun ke depan. Sejumlah perusahaan migas global, seperti ExxonMobil, Shell, Chevron, BP dan Eni, memangkas investasi mereka sebesar 20%-30% pada 2020.

Contohnya ExxonMobil yang memangkas investasi sebesar 30% dari US$2,5 miliar menjadi US$1.6 miliar.

Infographic 01

Sumber: IPA Infographic Booklet, 2020

Untuk itu, negara-negara penghasil migas saling berkompetisi untuk menarik minat investasi di negara masing-masing, termasuk Indonesia. Pemerintah Indonesia menawarkan berbagai insentif fiskal, fleksibilitas skema bagi hasil (Production Sharing Contract/PSC) dan kemudahan perizinan.

 

Potensi Hulu Migas

Di tengah gerakan global transisi energi menuju energi yang lebih bersih, peran minyak dan gas dianggap masih penting selama beberapa dekade ke depan. Kebutuhan energi fosil global diperkirakan masih cukup besar, termasuk di dalam negeri Indonesia.Tripatra mendukung penuh upaya pemerintah mencapai target lifting migas jangka panjang. Pelaku industri sektor hulu migas optimistis dapat mencapai target tersebut, terutama dari potensi blok-blok offshore yang belum dieksplorasi.

Tripatra melihat masih terbuka peluang proyek upstream selama 10 tahun ke depan, walaupun tidak semasif pada periode sebelumnya. Tripatra memiliki reputasi, pengalaman dan kemampuan yang sangat baik sebagai kontraktor di industri hulu migas, terutama onshore.  Tidak hanya itu, Tripatra terus meningkatkan kompetensi personel untuk menggarap potensi proyek offshore. Untuk proyek offshore, Tripatra dipercaya oleh Eni menggarap proyek Jangkrik Floating Production Unit di Muara Bakau pada 2014 dan berhasil menyelesaikan proyek ini sesuai target selama tiga tahun.

Sementara itu di sektor hulu gas, Tripatra masih melihat potensi di Indonesia. Contohnya, program meningkatkan konsumsi domestik gas di Indonesia dengan adanya konstruksi gas power plant dan juga konversi lebih banyak natural gas ke LPG dan LNG. Infrastruktur jaringan gas bumi untuk rumah tangga (jargas) telah terbangun 135.286 Sambungan Rumah (SR) di 23 kabupaten/kota pada 2020. Pada 2021, pemerintah menargetkan akan ada tambahan sebanyak 120.776 SR.

Selain itu, pemerintah juga mewujudkan rencana ekspansi masif di industri kilang minyak dan gas, terminal dan pipeline. Untuk 10 tahun ke depan, Tripatra akan terus mengikuti tender upstream, terutama offshore, dibarengi dengan menjalin hubungan dengan sektor dan klien baru di bidang energi baru terbarukan dan O&M. Tripatra juga mempersiapkan kompetensi SDM yang unggul untuk beradaptasi dengan peluang proyek offshore di tahun-tahun mendatang. Upaya ini dibarengi dengan penerapan Project Production Management (PPM) di mana Tripatara sebagai salah satu EPC pelopor yang mengadopsi pendekatan operational science ini.

Berita Terkait Lainnya

Berita Terkait Lainnya